Saturday, May 29, 2010

Yuk…Kita kaji Sungai Dengan Konsep Eko-Hidraulik

sungai-ciujung Sungai merupakan refleksi dari daerah yang dilaluinya. Faktor-faktor seperti kualitas air (unsur kimia dan temperatur), habitat yang ada (flora dan fauna), kondisi hidraulik sungai (debit, muka air, frekuensi aliran, dan lain-lain), dan morfologi sungai dapat dipakai sebagai indikator untuk menganalisis kondisi daerah aliran sungai tersebut. Jika di daerah sekitar sungai banyak aktivitas industri dengan kualitas penjernihan air limbah yang tidak memadai, maka kualitas air sungai (terutama sungai kecil dan menengah) tersebut juga akan terlihat jelas menurun. Jika suatu daerah relatif tandus, maka kondisi tersebut akan direkam oleh sungai kecil yang direfleksikan ke dalam bentuk kurva hidrografnya dengan waktu mencapai puncak yang pendek dan debit puncak yang tinggi serta waktu kering yang lama.

Dalam proses morfologi pembentukan sungai, sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi, dan hidrologi daerah setempat, serta dalam perkembangannya akan mencapai kondisi keseimbangan dinamiknya (Kern, 1994). Kondisi geografi banyak menentukan letak dan bentuk alur sungai memanjang dan melintang. Ekologi menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor resistensi sungai. Sedangkan hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran air di sungai. Namun ketiga faktor tersebut saling terkait dan berpengaruh secara integral membentuk morfologi, ekologi, dan hidraulika sungai alamiah. Morfologi, ekologi dan hidraulika sungai kecil dalam suatu sistem menentukan morfologi, ekologi, hidraulika sungai orde berikutnya. Dengan demikian kondisi morfologi, ekologi, dan hidraulika suatu sungai besar pada umumnya memiliki korelasi dengan kondisi sungai kecil di atasnya (Leopold et.at., 1964).

Di samping itu, aktivitas manusia (anthropogenic activities) di sungai merupakan faktor yang sangat penting pada perubahan morfologi, ekologi, maupun hidraulik sungai yang bersangkutan. Bahkan perubahan morfologi sungai besar-besaran, misalnya pelurusan normalisasi sungai Bengawan Solo (dari Sukoharjo sampai Karanganyar) tahun 1994 di Indonesia dan Sungai Rhine di Jerman atau Kissimmee di Amerika Serikat yang terjadi sepanjang dua abad terakhir ini, merupakan aktivitas manusia dalam merubah morfologi, ekologi, dan hidraulik sungai secara ekstrim. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan gangguan keseimbangan sungai yang bersangkutan dan dapat mengarah kepada destabilisasi sungai yang bersifat unpredictable.

FUNGSI SUNGAI

  • Sungai Sebagai Saluran Eko-Drainase (Drainase Ramah Lingkungan)

Sungai dalam suatu sistem sungai (river basin) merupakan komponen eko-drainse utama pada basin yang bersangkutan. Bentuk dan ukuran alur sungai alamiah, dalam kaitannya dengan eko-drainase, merupakan bentuk yang sesuai dengan kondisi geologi, geografi, ekologi, dan hidrologi daerah tersebut. Konsep alamiah eko-drainase adalah bagaimana membuang air kelebihan selambat-lambatnya ke sungai. Sehingga sungai-sungai alamiah mempunyai bentuk yang tidak teratur, bermeander dengan berbagai terjunan alamiah, belokan, dan lain-lain. Bentuk-bentuk ini pada hakekatnya berfungsi untuk menahan air supaya tidak dengan cepat mengalir ke hilir serta menahan sedimen. Di samping itu juga dalam rangka memecah/menurunkan energi air tersebut.

Konsep drainase konvensional yang selama ini dianut yaitu drainase didefinisikan sebagai usaha untuk membuang/mengalirkan air kelebihan di suatu tempat secepat-cepatnya menuju sungai dan secepat-cepatnya dibuang ke laut, menurut tinjauan eko-hidraulik tidak bisa lagi dibenarkan. Dengan konsep pembuangan secepat-cepatnya ini, akan terjadi akumulasi debit di bagian hilir dan rendahnya konservasi air untuk ekologi di hulu. Sungai di hilir akan menerima beban debit yang lebih tinggi dan waktu debit puncak lebih cepat dari pada keadaan sebelumnya dan akan terjadi penurunan kualitas ekologi daerah hulu. Jika sungai kecil, menengah, dan besar dijadikan sarana drainase dengan konsep konvensional seperti di atas, maka akan didapat suatu rezim saluran drainase sebagai ganti rezim sungai.

pelurusan sungai

Seperti kita ketahui, bahwa pembangunan sungai sampai saat ini belum memperhatikan faktor-faktor lingkungan sebagai unsur penting yang diperlukan dalam rekayasa strukturnya. Rekayasa pembangunan persungaian dirancang hanya berdasarkan kajian-kajian fisik hidraulik tanpa memperhatikan aspek-aspek ekosistem yang berlaku pada sebuah sistem perairan sungai. Kondisi yang ada malah menunjukkan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air sering memberikan dampak berubahnya kondisi fisik sungai dari kondisi alamiahnya. Sebagai suatu contoh, untuk tujuan pengendalian banjir, alur sungai mungkin harus dipindah/diluruskan/diubah slope dasarnya dan dibuaut dengan konstruksi beton/batu kali pada tebing/ dasar sungai.

Implikasi dari pengelolaan sumber daya air dengan cara tersebut diatas akan berakibat pada berubahnya kondisi ekosistem sungai sebagai habitat bagi perkembangbiakan ikan dan organisme aquatik lainnya. Kondisi ekosistem perairan dapat mengalami perubahan ke arah yang kurang menguntungkakn bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang biak, yang selanjutnya akan menyebabkan hilangnya beberapa jenis ikan akibat terputusnya siklus kehidupannya.

Maryono (2001) mengusulkan Konsep Eko-Drainase, Eco-Drainage Concept, yaitu “Relase of excess water to the rivers at an optimal time which doesn’t cause hygienic and flood problems”; eko-drainase diartikan suatu usaha membuang/mengalirkan air kelebihan ke sungai dengan waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai yang terkait (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan waktu mencapai debit puncak).

Hubungannya dengan penggunaan sungai untuk drainase jaringan irigasi teknis (dalam hal ini, biasanya sungai kecil dan menengah), perlu diteliti lebih jauh kaitannya dengan masalah ekologi sungai. Air limbah pertanian biasanya mengandung pestisida atau pupuk yang kemungkinan besar dapat mengganggu flora, fauna, dan keragaman hayati sungai kecil yang bersangkutan.

  • Sungai Sebagai Saluran Irigasi

Dalam perencanaan bangunan irigasi teknis, sungai yang ada dapat dipakai sebagai saluran irigasi teknis, jika dari segi teknis memungkinan. Kehilangan air di saluran dengan menggunakan sungai kecil lebih kecil daripada menggunakan saluran tanah buatan, karena pada umumnya porositas sungai relatif rendah mengingat adanya kandungan lumpur dan sedimen gradasi kecil yang relatif tinggi.

sungai sebagai jaringan irigasi

Kaitannya dengan ekologi, perlu dipertimbangkan besarnya debit suplai air di sungai. Sejauh mungkin tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan flora dan fauna sungai yang bersangkutan. Jika pada pengambilan air dengan menggunakan bendung harus diperhitungkan jumlah debit air minimum yang harus tersedia di sungai bagian hilir bendung agar kehidupan ekologi sungai masih dapat berlangsung, demikian pula pada penggunaan sungai untuk saluran irigasi harus dipertimbangkan besarnya debit tambahan maksimum yang masih dapat ditolelir, baik bagi hidraulik maupun bagi ekologi sungai tersebut.

Penelitian tentang debit air minimum dan debit air maksimum di suatu sungai kaitannya dengan ekologi sungai dewasa ini sedang berjalan relatif intensif. Hasil-hasil penelitian ini belum banyak dilaporkan dalam temu ilmiah. Penelitian yang dilakukan oleh Schera (1999) mengenai “Minds Wassermenge” (“Debit Air Minimum”) dapat dijadikan sebagai langkah awal penelitian-penelitian selanjutnya.

  • Sungai Sebagai Area Ekologi

Sebagaimana telah disinggung di atas, sungai mempunyai fungsi vital kaitannya dengan ekologi. Sungai dan bantarannya biasanya merupakan habitat yang sangat kaya akan flora dan fauna sekaligus sebagai barometer kondisi ekologi daerah tersebut. Sungai yang masih alamiah dapat berfungsi sebagai aerasi alamiah yang akan meningkatkan atau menjaga kandungan oksigen air sungai.

Flowingstream Komponen ekologi sungai adalah vegetasi daerah badan, tebing dan bantaran sungai. Pada sungai sering juga ditemui sisa-sisa vegetasi misalnya kayu mati yang posisinya melintang atau miring di sungai. Kayu mati ini pada sungai kecil dan menengah menunjukkan fungsi hidraulik maupun ekologi yang berarti (Scherle, 1999, Kern, 1994). Fungsi hidrauliknya adalah bahwa kayu mati ini akan dapat menghambat aliran air ke hilir, aliran air terbendung sehingga air tertahan di daerah hulu. Keuntungan ekologi dengan kayu mati ini adalah dapat menciptakan keheterogenan kecepatan aliran air dan kedalaman muka air. Di samping itu juga terjadi terjunan-terjunan kecil yang dapat meningkatkan kandungan oksigen dalam air. Kondisi fisik yang demikian ini merupakan habitat yang cocok untuk flora dan fauna suatu sungai, sekaligus berfungsi sebagai retensi aliran air.

Secara umum ekosistem sungai juga mengikuti kaidah ekosistem lainnya. Komponen ekosistem sungai terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berpengaruh menjadi satu kesatuan dan memiliki kemampuan untuk membuat sistem aturannya sendiri. Pengaruh komponen fisik misalnya kecepatan aliran sungai, substrat, kualitas air, iklim mikro, karakteristik penyinaran matahari, dan perubahan temperatur sangat menentukan jenis-jenis biotope (fauna) yang ada pada wilayah sungai tersebut. (Diester, 1996).

 struktur dinamika sungai

Menurut Diester (1996), faktor yang sangat menentukan dalam ekosistem sungai adalah struktur dinamik dari debit yang mengalir di suatu sungai. Perkembangan faktor biotik dan abiotik lainnya diatur oleh besar kecilnya debit atau pergantian dari musim kering (debit rendah) dan musim basah (debit tinggi) di mana daerah bantaran/pinggir sungai secara periodik terkena banjir (genangan). Sistem kait-menkait komplek antara faktor biotik dan abiotik dalam suatu ekosistem sungai oleh Diester (1996).

Jenis flora dan fauna pada wilayah sungai tergantung pada berbagai macam faktor abiotik (fisik). Faktor abiotik dominan adalah iklim dan formasi geologi permukaan. Kedua faktor ini memberikan kerangka geografis untuk kelangsungan hidup jenis-jenis flora dan fauna sungai. Kondisi tampang memanjang sungai dengan berbagai macam karakteristik substrat, kecepatan air, komposisi unsur kimia yang ada, penyinaran, temperatur, dan jenis kandungan sedimen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi variditas serta jumlah flora dan fauna sungai.

Sumber data :

EKO-HIDRAULIK
Pengelolaan Sungai Ramah Lingkungan
Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai
Dr.-Ing.Ir.Agus Maryono

0 komentar:

Post a Comment

Merupakan sebuah kehormatan dan kebahagiaan bagi kami, jika anda berkenan untuk meluangkan waktu sejenak untuk memberikan kritik dan saran bagi blog kecil ini, melalui kotak komentar dibawah ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes