Eko-Hidraulik Ramah Lingkungan-Suatu Konsep Baru untuk Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan di Wilayah Keairan
Pada kesempatan Seminar Nasional Eko-Hidraulik tanggal 28-29 Maret 2001, Universitas Gadjah Mada kembali melahirkan sebuah asosiasi profesi yang sangat penting kaitannya dengan penanggulangan banjir dan kerusakan lingkungan di wilayah keairan. Asosiasi tersebut diberi nama Asosiasi Eko-Hidraulik Indonesia dan disingkat ASEHI. Tujuan asosiasi ini adalah untuk mengembangkan dan memasyarakatkan konsep baru Eko-Hidraulik ke seluruh lapisan masyarakat dalam rangka menyelamatkan keragaman hayati wilayah keairan (sungai, danau, rawa, dan pantai) serta menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh rekayasa hidraulik murni di wilayah keairan misalnya banjir dan erosi dasar/tebing sungai. Berdirinya ASEHI ini sekaligus sebagai tanda berbaliknya para ahli Teknik Sipil Hidro dari pemahaman parsial (hidraulik murni) dalam mengelola wilayah keairan ke pemahaman integral yang memasukkan pertimbangan ekologi daham penanganan masalah di wilayah keairan.
Pembangunan wilayah keairan di seluruh dunia dewasa ini sebagian besar masih menggunakan pola pendekatan rekayasa Teknik Sipil Hidro secara parsial. Sehingga hasil rekayasa tersebut sangat terkesan jelas lepas, bahkan bertentangan dengan kepentingan kelestarian ekologi atau lingkungan. Pola rekayasa hidraulik murni diartikan bahwa dalam penyelesaian masalah di wilayah keairan hanya didasarkan pada fungsi hidraulik wilayah keairan itu saja, tanpa mempertimbangkan dampak negatif dan keterkaitanya terhadap komponen ekologi yang ada. Sebagai misal fungsi suatu sungai, menurut konsep hidraulik murni, sungai hanya dipandang sebagai suatu saluran hidraulik pembuangan air kelebihan menuju ke laut. Jadi dengan konsep ini, semua sungai sebaiknya diluruskan atau ditalud sehingga air dapat secara cepat mengalir ke hilir. Dengan konsep ini komponen ekologi sungai otomatis akan hancur total. Gambar berikut ini menyajikan suatu ilustrasi rekayasa hidraulik murni terhadap suatu sungai.
sumber :http://bebasbanjir2025.wordpress.com
Gambar di sebelah atas adalah kondisi wilayah sungai yang masih alamiah. Pada gambar tersebut terlihat kesatuan antara faktor ekologi dan hidraulik. Pada sungai yang masih alami biasanya selalu memiliki tampang melintang yang heterogen/bervariasi dan ditumbuhi vegetasi yang cukup lebat. Kondisi habitat seperti ini menguntungkan berbagai jenis flora dan fauna sungai (reptil, mamalia sungai, amphibia sungai, ikan, zoobenthos, dan lain-lain). Di samping itu ternyata vegetasi ini mempunyai fungsi hidraulik yang sangat vital yaitu sebagai komponen resistensi banjir dan resiatensi erosi dasar dan tebing sungai. Di sini terlihat jelas bahwa antara faktor ekologi dan hidraulik sebenarnya saling mendukung. Pada saat banjir, vegetasi di sepanjang sungai akan berfungsi sebagai faktor retensi yang akan menghambat kecepatan aliran sungai ke daerah hilir. Karena kecepatan air diperlambat maka muka air akan naik dan menggenangi daerah bantaran sungai di mana vegetasi tumbuh. Penggenangan daerah bantaran secara dinamis dengan durasi alamiah ini justru sangat diperlukan oleh flora dan fauna sungai guna kelangsungan hidupnya.
Rekayasa hidraulik murni atau konvensional yang dilakukan akan merubah total kondisi alamiah sungai menjadi kondisi sungai buatan (saluran-selokan) seperti pada gambar diatas (bagian bawah). Ditinjau dari sisi ekologi maupun hidraulik, kondisi sungai yang telah tereksploitasi ini sangat tidak menguntungkan. Sungai dengan dinding pasangan batu, beton, atau urugan tanah semacam ini memiliki retensi banjir dan erosi yang sangat rendah dan juga memiliki keragaman hayati yang amat sangat rendah dibanding dengan sebelumnya.
Sebagai contoh konkrit kefatalan pendekatan hidraulik murni/ konvensional adalah kejadian di Sungai Kissimmee, Florida Amerika Serikat; kejadian di Sungai Rhine, Jerman, dan kejadian di Sungai Bengawan Solo, Indonesia.
Pelurusan Sungai Kissimmee yang tadinya berbelok berliku secara alami, telah merusak ekosistem sungai dan danau di Florida Amerika Serikat. Semula Sungai Kissimmee yang mengalir berupa meander sepanjang 150 km, diluruskan menjadi 70 km, sehingga habitat bagi satwa yang tadinya seluas 16.000 ha rawa tinggal tersisa 400 ha, sebanyak 75% punah. Akibatnya elang dan rusa, buaya dan ikan menghilang, burung rawa terbunuh atau migrasi ke tempat lain. Sebelum Sungai Kissimmee diluruskan, Danau Okeechobee yang menampung/menerima air sungai itu, kaya akan berbagai jenis ikan dan sekelilingnya subur serta hijau. Sesudah pelurusan sungai, di danau tersebut sering dijumpai ikan yang mati dalam jumlah ratusan ton, tanaman di sekitar danau mengering. Air menjadi kotor, padahal danau tersebut merupakan sumber air minum untuk Kota Miami dan beberapa kota disekitarnya. Diketemukan oleh ahli biologi, ternyata ekosistem rawa berperan sebagai penyaring air agar menjadi jernih (Chiras, 1988; Tanjung & Maryono, 2001).
Pelurusan dan pembangunan bendung di Sungai Rhine di Eropa yang merubah Sungai Rhine yang tadinya berkelok-kelok menjadi lurus-lurus dan terpotong-potong oleh bangunan bendung dari daerah hulu sampai dengan hilir, ternyata telah menyebabkan kepunahan ikan salmon dan berbagai jenis ikan lainnya. Hasil tangkapan ikan salmon yang pada tahun 1901 masih mencapai sebanyak lebih dari 300.000 ekor maka pada tahun 1970-an tidak ada hasil tangkapan sama sekali. Di samping hal tersebut, segala macam jenis flora dan fauna pinggir sungai berkurang sangat drastis dan bahkan sebagian besar punah. Di daerah Rhine bagian atas saja telah terjadi pelurusan sungai dart 350 km panjang sungai alamiah menjadi 270 km sungai buatan dan mematikan habitat ekologi daerah pinggir sungai seluas 870.000 ha (Maryono, 2001).
Di Indonesia, baru-baru ini dilaporkan bahwa pelurusan Sungai Bengawan Solo di daerah Sukoharjo, Surakarta, dan Karanganyar yang merubah alur sungai alamiah sepanjang 50 km menjadi kurang dari 35 km, telah mengakibatkan munculnya masalah-masalah baru, tidak hanya masalah ekologi namun juga masalah sosial dan higienis bahkan juga masalah peningkatan tendensi banjir di hilir. Akibat pelurusan tersebut adalah sepanjang 15 km habitat flora dan fauna pinggir sungai hancur, sungai-sungai yang terputus menjadi sungai mati dan merupakan sarang,,, nyamuk dan penyakit lainnya; dengan pelurusan ini tercipta daerah-daerah yang terisolir dan terputus hubungannya dengan dunia luar seluas 525,85 ha dan ancaman banjir kiriman di daerah hilir seperti daerah Ngawi, Bojonegoro dst (Sudarta, 2001).
Dengan laju perkembangan kesadaran lingkungan dan kesadaran berpikir holistik dunia internasional dewasa ini, serta ditemukannya berbagai dampak negatif yang sangat besar dari rekayasa hidraulik murni seperti disebutkan di atas, maka pola pikir rekayasa hidraulik secara parsial ini sejak tahun 80-an di dunia internasional mulai ditinggalkan. Kemudian dikembangkan pola rekayasa interdisipliner baru dengan memasukkan pertimbangan ekologi pada setiap penyelesaian masalah keairan.
Pendekatan interdisipliner Eko-Hidraulik ini dipandang sebagai suatu pola pendekatan baru yang bisa diterima baik dari orang-orang ekologi maupun Teknik Sipil Hidro serta memiliki keberlanjutan yang tinggi. Karena pendekatan yang digunakan sudah memasukkan pertimbangan faktor fisik (hidraulik) maupun non fisik (ekologi) yang masing-masing memegang peranan penting pada wilayah keairan.
Di berbagai negara maju seperti Jerman, Amerika, Kanada, dan sebagian besar negara Eropa sudah pada sekitar tahun 80 dimulai pengembangan dalam pengaplikasian konsep Eko-Hidraulik. Perubahan ke arah konsep Eko-Hidraulik tersebut ditandai dengan dikembalikannya sungai-sungai yang telah diluruskan menjadi berkelok-kelok lagi seperti sungai alamiah (contoh Sungai Kissimmee dan anak-anak Sungai Rhine). Juga dihidupkannya kembali daerah-daerah terisolir secara ekologi akibat pelurusan sungai, dihidupkannya kembali daerah rawa-rawa sebagai retensi, konservasi, dan komponen perbaikan kualitas air. Sementara di daerah pantai diadakan penghentian terhadap usaha pemusnahan tanaman-tanaman pinggir pantai misalnya mangrove dan lain-lain.
Di Indonesia penyelesaian masalah keairan dengan pendekatan Eko-Hidraulik belum dimulai, kebanyakan masih menggunakan pola pendekatan lama yakni hidraulik murni. Bahkan masih banyak rencana-rencana pelurusan sungai di berbagai tempat misalnya di Bengawan Solo, Ciliwung, Mahakam, Kapuas, dan lain sebagainya. Pemasyarakatan konsep Eko-Hidraulik di Indonesia sudah sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat semakin banyaknya kerusakan lingkungan di wilayah keairan dan banjir akibat rekayasa hidraulik murni beberapa dekade yang lalu.
Sumber data :
Kompas, 9 September 2001, oleh Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono
Eko-Hidraulik Ramah Lingkungan-Suatu Konsep Baru untuk Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan di Wilayah Keairan
dalam buku :
EKO-HIDRAULIK
Pengelolaan Sungai Ramah Lingkungan
Menanggulangi Banjir dan Kerusakan Lingkungan Wilayah Sungai
Dr.-Ing.Ir.Agus Maryono
1 komentar:
Makasih banget......
dgn adanya pembahasan teori ini,
teori yg sgt penting yg kulupakan,
bisa teringat kembali.
Smg Pemerintah Indo tidak menambah kesalahan yg diawali oleh belanda pada saat merubah bentuk Sungai Ciliwung.
Tp untuk mengubah sungai ciliwung menjadi berkelok kembali, rasanya tdk mgkn...
mengingat struktur kota yg sudah tjd.
Hanya bagaimana pemerintah, tdk mengulangi kesalahan yg sama di daerah lain.
Post a Comment
Merupakan sebuah kehormatan dan kebahagiaan bagi kami, jika anda berkenan untuk meluangkan waktu sejenak untuk memberikan kritik dan saran bagi blog kecil ini, melalui kotak komentar dibawah ini.